Menghadapi realita hidup demikian agaknya ada satu tawaran yang bisa
dicoba secara kontekstual adalah bagaimana mengelola permasalahan itu
dengan "manajemen konflik".Ada satu catatan lain seputar konflik
mengkonflik, ini sebagai abahan diskusi terutama di dunia pendidikan,
sebagai berikut:
Champy dan Nohria dalam Sulaksana menyebutkan tiga pemicu utama yang
menggerakkan perubahan lebih cepat ketimbang waktu-waktu sebelumnya
yaitu (1) Teknologi khususnya TI, yang telah mentransformasi bisnis
sedemikian dramatis; (2) Pemerintah : peninjauan ulang perannya dalam
bisnis, karena dewasa ini hampir semua pemerintah di seluruh dunia
menggerkkan deregulasi, privatisasi, dan perdagngan bebas; dan (3)
Globalisasi, dimana banyak perusahaan di seluruh dunia bersaing
men-deliver produk atau layanan yang sama, di mana saja, kapan saja,
dengan harga yang makin kompetitif, yang pada gilirannya memaksa
organisasi dan perusahaan agar mampu menata diri dengan cara yang
radikal.
Dunia pendidikanpun selalu mengadakan inovasi dalam berbagai hal, baik
yang menyangkut regulasi dan implementasinya di lapangan, menyiapkan
sumber daya (sumber daya manusia atau sumber daya lain), melengkapi
fasilitas sarana prasarana, mengganggarkan pembiayaan, membuat kendali,
dan hal-hal lain yang bersifat menejerial organisasi di lingkup
pendidikan.
Perubahan yang terjadi seringkali membawa dampak ikutan yang salah
satunya adalah munculnya konflik dalam berbagai bentuk dan tingkatan.
Meskipun demikian, konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat
dihindarkan dalam kehidupan. Bahkan sepanjang kehidupan, manusia
senantiasa dihadapkan dan bergelut dengan konflik. Demikian halnya
dengan kehidupan di sekolah, warga sekolah senantiasa dihadapkan pada
konflik. Perubahan atau inovasi baru, seperti implementasi Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS), pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sangat rentan
menimbulkan konflik (destruktif), apalagi jika tidak disertai pemahaman
yang memadai terhadap ide-ide yang berkembang.
Manajemen konflik sangat berpengaruh bagi anggota organisasi, baik
organisasi sekolah maupun organisasi lainnya. Kepala sekolah dituntut
menguasai manajemen konflik agar konflik yang muncul dapat berdampak
positif untuk meningkatkan mutu sekolah. Kenyataan di lapangan
khususnya di institusi pendidikan, kepala sekolah justru enggan untuk
menerapkan manajemen konflik, karena beranggapan kepada paradigma lama
dimana konflik lebih besar pengaruh negatifnya (mudaratnya). Lebih dari
itu, bagaimana kepala sekolah bersama tenaga kependidikan lainnya
dapat memenej konflik untuk meningkatkan mutu sekolah.
Menghadapi dinamika perubahan ini tentu menyisakan berbagai macam
problematika. Permasalahan-permasalahan yang timbul itu perlu dikenali,
bahkan masalah-masalah yang masih berujud potensi perlu didorong untuk
muncul dengan harapan dapat diantisipasi atau dicarikan solusinya agar
tidak berdampak negatif terhadap kemajuan sekolah.
Beberapa permasalahan yang muncul atau masih berujud potensi itu antara lain sebagai berikut :
1) Anggapan bahwa manajemen konflik tidak efektif untuk meningkatkan mutu sekolah
2) Manajemen konflik lebih banyak berdampak negatif bagi anggota organisasi.
3) Kepala sekolah tidak terampil dalam menggunakan manajemen konflik untuk meningkatkan mutu sekolah.
4) Budaya ganti pemimpin ganti kebijakan. Hal demikian ini sering
membuat para pelaku di tingkat bawah menjadi kebingungan karena
kebijakan lama belum jelas menampakkan hasil, tetapi sudah harus
menyesuaikan dengan kebijakan baru yang perlu penyesuaian kembali.
5) Belum siapnya sumber daya yang ada terutama para stake holders di
tingkat bawah untuk menghadapi perubahan-perubahan yang hampir terjadi
setiap saat.
6) Pemahaman terhadap manajemen sekolah sering membuat kita jadi
sulit menentukan pilihan manakah yang harus dilakukan terlebih dahulu.
7) Pemahaman terhadap tugas pokok dan fungsi masing-masing elemen
dari sistem pendidikan di Indonesia masih kurang, sehingga tidak bisa
menghayati tugas dan peranannya dalam sistem tersebut.
8) Penempatan tenaga kependidikan tidak mempertimbangkan prinsip efisiensi dan efektivitas.
9) Masih dijumpai tenaga kependidikan (guru/kepala sekolah) berperan
ganda yang seharusnya lebih fokus terhadap tugas pokok dan fungsinya
sebagai pengajar, tepai juga harus mengurus kebutuhan pemenuhan sarana
prasaran, fisik gedung sekolah yang rusak atau kurang layak untuk
berlangsungnya proses belajar mengajar yang efektif. Tugas pokok dan
fungsi kepala sekolah yang tercermin dalam EMASLIM dirasa sangat berat,
padahal SD belum dilengkapi dengan tenaga kependidikan yang khusus
bekerja di bidang ketata usahaan, perpustakaan, sehingga praktis semua
tugas yang ada di SD menjadi tanggung jawab guru / kepala sekolah.
10) Budaya reward and punishment yang tidak proporsional, sehingga
melahirkan kecemburuan sosial dan menurunnya semangat dan etos kerja.
11) Pemberlakuan masa jabatan kepala sekolah 4 tahunan, dapat
berdampak positif untuk memacu kinerja yang lebih optimal, tetapi dapat
pula berdampak negatif terutama bagi kepala sekolah yang sudah
memangku jabatan ketika aturan tersebut diberlakukan. Ada gejala post
power syndrom dan kecemasan untuk kembali bertugas hanya sebagai guru
biasa.
12) Walaupun realitanya belum berjalan tetapi pemberlakuan
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2006 tentang Guru dan Dosen, dimana guru
harus memenuhi kualifikasi guru professional dapat mengakibatkan
kecemburuan sosial diantara para tenaga kependidikan, mengingat
pemberlakukannya tidak serentak. Seleksi awal menggunakan pola yang
dianggap kurang fair seperti pendidikan minimal S1 atau D4, masa kerja
minimal 20 tahun, golongan minimal IV/a, dan perbandingan jumlah siswa :
guru minimal 1 : 25.
Menurut Webster (1966) dalam Dean G. Pruitt dan Feffrey Z. Rubin,
istilah “conflict” dalam bahasa aslinya berarti suatu “perkelahian,
peperangan, atau perjuangan” yaitu berupa konfrontasi fisik antara
beberapa pihak. Arti kata itu kemudian berkembang menjadi
“ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan”.
Dean G. Pruitt dan Feffrey Z. Rubin memaknai konflik sebagai persepsi
mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest) atau
suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat
dicapai secara simultan. Konflik dapat terjadi pada berbagai macam
keadaan dan pada berbagai tingkat kompleksitas. Konflik merupakan sebuah
duo yang dinamis.
Konflik dapat terjadi hanya karena salah satu pihak memiliki aspirasi
tinggi karena allternatif yang bersifat integrative dinilai sulit
didapat. Ketika konflik semacam ini terjadi, maka ia akan semakin
mendalam bila aspirasi sendiri atau aspirasi pihak lain bersifat kaku
dan menetap Aspirasi dapat mengakibatkan konflik karena salah satu dari
dua alasan, yaitu masing-masing pihak memiliki alasan untuk percaya
bahwa mereka mampu mendapatkan sebuah objek bernilai untuk diri mereka
sendiri atau mereka percaya bahwa berhak memeiliki objek tersebut.
Pertimbangan pertama bersifat realistis, sedangkan pertimbangan kedua
bersifat idealis.
Munculnya konflik tidak selalu bermakna negatif, artinya jika konflik
dapat dikelola dengan baik , maka konflik dapat memberi kontribusi
positif terhadap kemajuan sebuah organisasi. Beberapa startegei
mengatasi konflik antara lain adalah (1) Contending (bertanding) yaitu
mencoba menerapkan solusi yang lebih disukai salah satu pihak atau
pihak lain; (2) Yielding (mengalah) yaitu menurunkan aspirasi sendiri
dan bersedia menerima kurang dari apa yang sebetulnya diinginkan; (3)
Problem Solving (pemecahan masalah) yaitu mencari alternatif yang
memuaskan aspirasi kedua belah pihak; (4) With Drawing (menarik diri)
yaitu memilih meninggalkan situasi konflik baik secara fisik maupun
psikologis. With drawing melibatkan pengabaian terhadap kontroversi,
dan (5) Inaction (diam) tidak melakukan apapun, dimana masing-masing
pihak saling menunggu langkah berikut dari pihak lain, entah sampai
kapan.
Konflik, dapat dikatakan sebagai suatu oposisi atau pertentangan
pendapat antara orang-orang, kelompok-kelompok atau
organisasi-organisasi, yang disebabkan oleh adanya berbagai macam
perkembangan dan perubahan dalam bidang manajemen serta menimbulkan
perbedaan pendapat, keyakinan, dan ide. Dalam pada itu, ketika individu
bekerja sama satu sama lain dalam rangka mewujudkan tujuannya, maka
wajar seandainya dalam waktu yang cukup lama terjadi
perbedana-perbedaan pendapat di antara mereka. Ibarat piring, banyak
yang pecah atau retak, hanya karena bersentuhan dengan piring lainnya.
Menurut Mulyasa pada umumnya konflik berlangsung dalam lima tahap,
yaitu tahap potensial, konflk terasakan, pertenangan, konflik terbuka,
dan akibat konflik. (1) Tahap potensial, yaitu munculnya perbedaan di
antara individu, organisasi, dan lingkunan merupakan potensi terjadinya
konflik; (2) Konflik terasakan, yaitu kondisi ketika perbedaan yang
muncul dirasakan oleh individu, dan mereka mulai memikirkannya; (3)
Pertentangan, yaitu ketika konflik berkembang menjadi perbedaan
pendapat di anatara individu atau kelompok yang saling bertentangan;
(4) Konflik terbuka, yaitu tahapan ketika pertentangan berkembang
menjadi permusuhan secara terbuka; (5) Akibat konflik, yaitu tahapan
ketika konflik menimbulkan dampak terhadap kehidupan dan kinerja
organisasi. Jika konflik terkelola dengan baik, maka akan menimbulkan
keuntungan, seperti tukar pikiran, ide dan menimbulkan kreativitas.
Tetapi jika tidak dikelola dengan baik, dan melampaui batas, maka akan
menimbulkan kerugian seperti saling permusuhan.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu
dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah
menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat,
keyakinan, dan lain sebagainya. Konflik adalah sesuatu yang wajar
terjadi di masyarakat, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan
hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bertentangan dengan integrasi.
Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat.
Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya,
integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik. (Wikipedia
Indonesia, 27 November 2006) Adapun factor – factor penyebab konflik
antara lain (1) perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian
dan perasaan; (2) Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga
membentuk pribadi-pribadi yang berbeda pula. seseorang sedikit banyak
akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya;
(3) Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok, diantaranya
menyangkut bidang ekonomi, politik, dan sosial; dan (4)
Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Di sekolah, konflik dapat terjadi dalam semua tingkatan, baik
intrapersonal, interpersonal, intragrup, intergrup, intraorganisasi,
maupun interorganisasi. (1) Konflik intrapersonal, yaitu konflik
internal yang terjadi dalam diri seseorang. Konflik intrapersonal akan
terjadi ketika individu harus memilih dua atau lebih tujuan yang saling
bertentangan, dan bimbang mana ynag harus dipili untuk dilakukan.
Misalnya, konflik antara tugas sekolah dengan acara pribadi. Konflik ini
bias diibaratkan seperti makan buah simalakama, dimakan salah tidak
dimakan juga salah, dan kedua pilihan yang ada memiliki akibat yang
seimbang. Konflik intrapersonal juga bisa disebabkan oleh tuntutan tugas
yang melebihi kemampuan. (2) Konflik interpersonal, yaitu konflik yang
terjadi antar individu. Konflik yang terjadi ketika adanya perbedaan
tentang isu tertentu, tindakan dan tujuan dimana hasil bersama sangat
menentuan. Misalnya konflik antar tenaga kependidikan dalam memilih mata
pelajaran unggulan daerah. (3) Konflik intragrup, yaitu konflik anta
angota dalam satu kelompok. Setiap kelompok dapat mengalami konflik
substantif atau efektif. Konflik substantif terjadi karena adanya latar
belakang keahlian yang berbeda, ketika anggota dari suatu komite
menghasilkan kesimpulan yang berbeda atas data yang sama. Sedangkan
konflik efektif terjadi karena tangapan emosional terhadap suatu situasi
tertentu. Contoh konflik intragrup, misalnya konflik yang terjadi pada
beberapa guru dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP); (4) Konflik
intergrup, yaitu konflik yang terjadi antar kelompok. Konflik
intergrup terjadi karena adanya saling ketergantungan, perbedaan
prsepsi, perbedaan tujuan, da meningkatkatnya tuntutan akan keahlian.
Misalnya konflik antar kelompo guru kesenian dengan kelompok guru
matematika. Kelompok guru kesenian memandang bahwa untuk membelajarkan
lagu tertentu dan melatih pernafasan perlu disuarakan dengan keras,
sementara kelompok guru matematika merasa terganggu, karena para
pesereta didiknya tidak konsentrasi belajar.; (5) Konflik
intraorganisasi, yaitu konflik yang terjadi antar bagia dalam suatu
organisasi. Misalnya konflik antara bidang kurikulum dengan bidang
kesiswaan. Konflik intraorganisasi meliputi empat sub jenis : (a)
Konflik vertikal, yang terjadi antara pimpinan dan bawahan yang tidak
sependapat tentang cara terbaik untuk menyelesaikan sesuatu. Misalnya
konflik antara kepala sekolah dengan tenaga kependidikan; (b) Konflik
horizontal, yang terjadi antar karyawan atau departemen yang memiliki
hierarkhi yang sama dalam organisasi Misalnya antara tenaga
kependidikan; (c) Konflik lini-staf, yang sering terjadi karena adanya
perbedaan persepsi tentang keterlibatan staf dalam proses pengambilan
keputusan leh manajer lini. Misalnya konflik antara kepalA sekolah
dengan tenaga administrasi; (d) Konflik peran, yang terjadi karena
seserang memiliki lebih dari satu peran. Misalnya kepala sekolah
menjabat sebagai ketua dewan pendidikan; (e) Konflik interorganisasi,
yang terjadi antar organisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar