Perang ini tentu saja dipicu oleh pertandingan sepakbola kedua negara yang sedang memperebutkan tiket ke Piala Dunia 1970 di Meksiko. Tapi akar masalahnya jauh lebih dalam dari itu. Konflik kedua negara sudah sangat tinggi, terutama terkait isu pengambilalihan paksa tanah milik imigran El Salvador yang tinggal di Honduras. Pemerintah Honduras saat itu sangat ingin mengambilpaksa dan memberikannya pada warga "asli" Honduras.
Kapuscinski memulai kisah dengan menyebut prediksi dari Luis Suarez yang mengatakan akan terjadi perang antara El Salvador dan Honduras setelah membaca berita yang melaporkan dua pertandingan kualifikasi itu. Luis Suarez merupakan jurnalis teman Kapuscinski yang tinggal bersama di Meksiko. Luis memberi pelajaran pada Kapuscinski tentang Amerika Latin dan bagaimana memahaminya. Luis digambarkan sebagai seseorang yang memiliki prediksi akurat, memprediksi kejatuhan Goulart di Brasil, diktator Bosch di Republik Dominika dan rezim Jimenez di Venezuela. Termasuk tentang kembalinya Peron sebagai Presiden Argentina, dan masa sudden death diktator Haiti, Francois Duvalier, di saat yang lain mengira Papa Doc –-julukan untuk Duvalier-- waktu itu masih memiliki banyak waktu. Intinya, Luis sangat paham politik di Amerika Latin.
Pun dengan dua pertandingan sepakbola itu, Luis menyatakan keyakinannya akan perang yang segera menjelang pada saat dunia tidak menaruh perhatiannya pada apa yang sedang terjadi. Pada pertandingan pertama di ibukota Honduras, Tegucigalpa, tuan rumah menang di menit terakhir. Pada saat yang bersamaan, gadis 18 tahun, Amelia Bolanos, yang melihat melalui televisi ketika striker Honduras Roberto Cardona mencetak gol penentu, mengambil pistol ayahnya dan bunuh diri dengan menembak tepat di jantungnya. Esoknya harian El Salvador, El Nacional menulis "Gadis muda tidak tahan melihat tanah airnya bertekuk lutut".
Pada masa perang 100 jam itu, Kapuscinski yang pada keseluruhan perang berada di Honduras melaporkan pandangan matanya tentang graffiti-grafiti yang terdapat di Tegucigalpa. Salah satunya adalah "WE SHALL AVENGE THREE-NIL" berdasar pada kekalahan Honduras saat leg kedua di Stadion Flor Blanca, San Salvador. Pertandingan yang berakhir dengan kekacauan dan kerusuhan, dua pendukung Honduras tewas, 150 mobil dibakar. Beberapa jam kemudian, perbatasan kedua negara pun ditutup.
Buku tersebut banyak menyebut tentang kebiasaan-kebiasaan yang umum terjadi pada sepakbola di Amerika Latin. Melalui Luis, disebut bahwa di Amerika Latin, batas antara sepakbola dan politik adalah samar. Maka bukan yang hal aneh jika Honduras dan El Salvador yang memang sudah memiliki ketegangan akibat persoalan non-sepakbola, menemukan lahan suburnya di sepakbola.
Pemakaman Amelia Bolanios, gadis yang bunuh diri itu setelah menyaksikan kekalahan negaranya di televisi, dihadiri presiden dan para menterinya, prosesi pemakamannya pun melibatkan para tentara. Ini adalah seremonial yang menautkan antara sepakbola, politik, sentimen nasional dan kebencian.
Praktek lain yang dianggap biasa di Amerika Latin adalah teror pada tim lawan jelang pertandingan. Baik tim El Salvador dan Honduras mendapat teror saat mereka bertandang sejak mereka hadir di hotel tempat mereka menginap. Kerumunan pendukung tuan rumah melempari kaca kamar hotel mereka dengan batu juga telur busuk. Teriakan, siulan dan ledakan petasan sepanjang malam. Idenya adalah tim yang kurang tidur, gelisah dan kelelahan pasti akan kalah.
Hal lain yang disebut tentang Amerika Latin adalah fungsi ganda stadion. Pada masa damai, stadion sepakbola adalah venue olahraga, sedangkan pada masa perang akan menjadi kamp konsentrasi atau bahkan kamp pengungsian.
Buku ini secara keseluruhan memang minim karena memang bukan buku yang bertema khusus sepakbola, namun banyak menyumbang informasi terkait perang sepakbola El Salvador-Honduras dan kebiasaan-kebiasaan sepakbola yang membantu pemahaman kita tentang sepakbola di Amerika Latin, karena beberapa kebiasaan masih berlanjut hingga saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar